Kemurahan Hati Muallif Sholawat Wahidiyah RA.: Mugo-mugo Piyambake Kuwalat Sae

Keseharian Muallif RA , KH. Abdoel Madjib Ma'roef adalah menerima tamu. Beliau tidak pernah menolak tamu, siapapun dan kapanpun waktunya. Beliau selalu menerima tamu dengan ramah dan tidak pernah mengecewakan tamu tersebut. Beliau juga terkadang menyelingi obrolan beliau dengan candaan, tetapi tidak berlebihan sehingga tidak menimbulkan tawa yang keras. Banyak cerita dari orang-orang yang bertamu ke beliau bahwa sebelum mereka mengutarakan maksud atau masalah mereka beliau telah menjawab terlebih dahulu.
KH. Abdoel Madjib Ma'roef : Kemurahan Hati Muallif Sholawat Wahidiyah RA.
KH. Abdoel Madjib Ma'roef : Kemurahan Hati Muallif Sholawat Wahidiyah RA.

Dalam menghormati tamunya, muallif senantiasa berusaha menyesuaikan dengan kebiasaan tamunya. Bila tamu tersebut merokok, maka muallif-pxm ikut merokok bahkan menyalakan pemantiknya, walaupun muallif sendiri jarang merokok.[1]

Setiap tamu yang datang dengan meminta restu atas segala hajatnya,
muallif-pxm tidak pernah menyampaikan hal buruk (tidak boleh), tapi menyampaikan "nggeh sae" dan disarankan untuk memperbanyak membaca kalimah Yaa Sayidi Yaa Rosullalloh.
Dikisahkan pernah suatu saat ada tamu dari Jakarta yang bertanya tentang Wahidiyah. Tamu itu datang ketika waktu ashar. Kemudian beliau menjelaskan panjang lebar pada tamunya sehingga waktu mendekati maghrib. Karena mengetahui maghrib akan tiba, tamu tersebut mohon diri pada beliau dengan maksud ingin mengikuti jama'ah sholat maghrib yang diimami oleh beliau. Setelah tamu itu keluar, beliau lalu kebelakang kemudian beliau memukul bedug (jika beliau memukul bedug itu artinya beliau tidak bisa mengimami sholat dan menyerahkan kewajiban imam kepada para pengurus). Setelah usai sholat maghrib tamu tadi kembali ke ndalem beliau untuk pamit. Sesampainya di ruang tamu dia terkejut karena ternyata supirnya telah disana. Ketika dia ditanya apakah dia masuk karena dia disuruh, supir itu menjawab bahwa dia masuk dengan keinginan dia sendiri. Kemudian dia masuk dan ngobrol dengan beliau sehingga beliau tidak bisa mengimami sholat maghrib. Saat itulah tamu itu mengetahui alasan mengapa beliau tidak mengimami sholat maghrib, ternyata setelah dia keluar untuk ke masjid sopirnya masuk menemui beliau. Ini menunjukkan bahwa beliau sangat menghormati tamu-tamu beliau, siapapun dia.[2]
Kemurahan hati muallif dikenal begitu besar dalam semua bidang. Demikian juga ketika muallif merespon isu dan fitnah terhadap dirinya dan Wahidiyah, beliau hanya mengatakan agar mereka mendapatkan balasan yang baik -mendapat hidayah. Pen-. Nasehat serupa juga disampaikan kepada para pengikutnya, agar selalu memandang sisi positif terhadap mereka yang belum berkenan dan atau tidak menerima Wahidiyah.
Berikut disampaikan catatan sejarah yang terjadi di Tulungagung Jawa Timur Pada Tahun 1968. Saat itu pengontrasan/penolakan ulama yang dipelopori KH. Mahrus Ali masih begitu kencang dan kuat.
Di Desa Tanjungsari yang waktu itu merupakandaerah dengan tingkat kerusakan moral sangat parah yang ditandai merajalelanya perilaku pencurian, perjudian, perzinahan dan perbuatan menyimpang lain. Melihat kenyataan tersebut seorang tokoh bernama Abd. Syukur merasa khawatir dan kemudian mendiskusikannya dengan KH. Zainal Fanani (waktu itu KH. Zainal baru menetap di Tanjungsari) untuk mencari ulama yang dinilai mampu memberikan pencerahan moral kepada masyarakat sekitar. Dari diskusi tersebut kemudian menyepakati untuk menghadirkan muallif dalam sebuah pengajian umum. Singkat cerita, muallif-pun bersedia dengan syarat harus diadakan pengamalan wahidiyah selama 40 Hari. Tamat 40 hari sebelum kerawuhan (kedatangan) Beliau RA, panitia mengadakan siaran ke desa-desa tetangga dengan kendaraan dokar waktu itu, bahwa di Tanjungsari akan diadakan pengajian umum oleh KH. Abdul Madjid, di samping itu diberikan juga undangan kepada para kyai sekitarnya, termasuk Kyai Abd. Hadi dari Ploso Kandang tetangga desa Tanjungsari. Alhamdulillah hadirin cukup banyak, dan dalam pengajiannya Muallif menerangkan dan mengajarkan Sholawat Wahidiyah. Kyai Abdul Hadi pun diberi lembaran Sholawat Wahidiyah, namun menjawab "Aku besuk kari-kari bae" (Aku besok belakangan saja). Rupanya mereka lapor atasannya (Syuriah NU), dalam hal ini Bapak Kyai Makhrus Ali dari Lirboyo. Dan di sana dijawab bahwa Sholawat Wahidiyah itu batal, sesat, haram diamalkan. Sampai-sampai di Pondok Lirboyo ditulis lebih kurang "HARAM MENGAMALKAN SHOLAWAT WAHIDIYAH " Dan supaya dianjurkan kepada seluruh anggota NU lewat Cabang-cabang dan Anak Cabang sampai Ranting-rantingnya. Suasana masyarakat menjadi ramai akan adanya siaran larangan tersebut, walaupun masyarakat belum tahu apa itu Sholawat Wahidiyah. Adapun masyarakat Tanjungsari dan sekitarnya yang terdiri dari rakyat biasa, ABRI juga  ada jumlahnya  ±200  orang  yang  sudah terlanjur mengamalkan lembaran 40 hari, dan sedang berjalan 20 hari. Dari pihak yang kontras semakin marah sehingga mengadakan pengajian umum di Masjid Ploso Kandang tepi jalan raya jurusan Blitar. Dihadiri Kyai dari Kediri dan Kyai Abdul Hadi juga ikut bicara yang maksudnya melarang mengamalkan Sholawat Wahidiyah, malahan ada kata-kata yang tidak patut didengar, antara lain : " Wahai si A dan si B dan si C, jangan amalkan Sholawat Wahidiyah karangannya Kyai Majid, yang mengaku pernah bertemu Kanjeng Nabi SAW dan Nabi Khaidir yang tidak mungkin karena dia masih makan nasi dll, itu hanya rekayasa untuk mencari uang saja ". Kata-kata yang lebih parah lagi : "Pokoknya jangan ikut celeng boloten" dan banyak lagi perkataan yang menghina, melecehkan dan menfitnah muallif Akhirnya pengamal Sholawat Wahidiyah Tanjungsari yang sedang 40 harian berkumpul musyawarah memutuskan untuk mengirim utusan ke muallif dengan maksud melaporkan peristiwa yang baru terjadi. Yang menjadi utusan, Bpk. Syukur ditemani seorang. Waktu itu masih sukar kendaraan, akhirnya nunut (ikut) truk, sampai di Kedunglo tengah malam terpaksa mengetuk pintu rumah muallif. Setelah bertemu, Muallif RA berkata :"Ada apa Pak Syukur malam-malam datang ?"Pak Syukur kemudian menjelaskan apa adanya, sampai melaporkan kata-kata "Ojo manut celeng boloten". Setelah menerima laporan dan pengaduan tersebut, muallifjustm berkata: "Mugo-mugo Piyambake Kuwalat Saebahkan Muallif juga menambahi dengan, "kedahipun kito matur nuwun. Jalaran, kito lak lajeng mundhak mempeng mujahadah to?" (Semoga dirinya kuwalat yang baik. Malahan, seharusnya kita berterima kasih. Sebab kita kan lantas lebih tekun bermujahadah).
Sebetulnya para jama'ah kecewa akan jawaban muallif yang pemurah itu, tapi alhamdulillahpengamalan terus di laksanakan sampai 40 hari, padahal situasi waktu itu amat mengerikan, setiap ada mujahadah para pengontras selalu mengacau sehingga hampir perang fisik.
Di sisi lain mereka yang menolak Sholawat Wahidiyah mengadakan pertemuan di Balai Rakyat Tulungagung, untuk musyawarah tentang Wahidiyah. Beberapa Kyai yang datang antara lain Kyai Karang Kates Kediri dan dari Tulungagung dll. Dalam acara itu ada Kyai yang cerita bahwa dia menemui beliau Muallif RA. seraya bertanya : "Sholawat Wahidiyah itu dari mana ? " Dijawab oleh muallif dengan kata singkat dan bijaksana : "Karangan saya sendiri".[3]


[1] Penuturan dari beberapa narasumber, antara lain KH. Ruhan Sanusi dan K. Syamsul Huda
[2] Keterangan diperoleh dari KH. Ruhan Sanusi
[3] Disampaikan oleh KH Zainal Fanani Tulungagung dan dibenarkan oleh banyak pihak

Artikel Selanjutnya Artikel Sebelumnya
Belum Ada Komentar :
Tambahkan Komentar
Comment url
Post Terkait :
Biografi Muallif Sholawat Wahidiyah