Shalawat Wahidiyah tidak termasuk ke dalam daftar Thoriqah Mu’tabarah (Tarekat yang dianggap sah) menurut Versi NU. Wahidiyah tidak memperoleh status Mu’tabarah karena tiga hal :
pertama, Wahidiyah dipandang tidak mengunakan Model Sistem tarakat yang memiliki sanad (silsilah) amalan yang sampai kepada Nabi karena ia hanyalah sholawat, dan setiap shalawat menurut referensi otoritatif ketasawufan[1]sanad dan syaikhnya adalah Nabi sendiri sehingga tidak memerlukan sistem seperti tarekat. Wahidiyah dipandang sebagai amalan umum yang tidak seketat sistem amalan tasawuf dan tarekat.
Kedua, Muallif (pencetus) Shalawat Wahidiyah tidak menghendaki misi jami’ al-alamin (global)-nya dibatasi oleh status mu’tabarah yang hanya diakui di Indonesia saja, khususnya oleh NU.
Ketiga, adanya penilaian negatif bahwa Wahidiyah mengandung ajaran sesat. hal ini disebabkan oleh karena para tokoh NU pada umumnya –yang corak tarekatnya cenderung pada tasawuf akhlaqi/sunni-melihat shalawat Wahidiyah mengemban corak tasawuf falsafi yang ditentangnya secara keras.[2]
[1]Lihat Syaikh Yusuf biin Isma’il an-Nabhani, Sa’adah ad-Darain fi ash-Shalah ‘ala Sayyid al-Kawnain, (Bairut-Libanon: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 36 dan 90 ; Sayyid Ahmad, Taqrib al-Ushul li Tahsil al-Ushul fi Ma’rifah ar-Rabb wa ar-Rasul, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1349 H.), hlm. 57 Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakar, Kifayah al-Athqiya’, (Indonesia: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.), hlm.48.
[2]Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Surabaya: IMTIYAZ, 2015), hlm. 7-8.